Rabu, 20 Januari 2010

KISAH PAHIT DAN HEBAT....


Soeharto Datang, Setelah Bung Karno “Terbang”

Akses informasi yang terbatas, penjagaan yang sangat ketat, mengakibatkan tidak satu pun wartawan dapat mengikuti hari-hari terakhir Bung Karno, baik ketika masih dalam perawatan, maupun ketika Bung Karno mangkat. Satu-satunya informasi yang secara terbuka didapat wartawan ketika itu adalah pengumuman resmi tim dokter ihwal meninggalnya Ir. Sukarno, Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, pagi hari 21 Juni 1970 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Sejurus kemudian, jenazah Bung Karno dibawa ke Wisma Yaso, rumah Dewi Sukarno (sekarang Museum Satria Mandala). Wisma yang tak berpenghuni beberapa hari terakhir, sangat menyedihkan keadaannya. Sementara itu, masyarakat ibukota

mendengar berita kematian Bung Karno, berjejal merangsek ke arah Wisma Yaso, hendak memberi penghormatan terakhir kepada tokoh yang dikagumi dan dicintai.

Tak luput, Presiden Soeharto dan Ibu Tien juga hadir di sana. Sebelumnya, pukul 07.30, atau 30 menit setelah berpulangnya Bung Karno ke Rahmatullah, Soeharto dan Ibu Tien datang ke RSPAD. Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan, “Waktu saya mendengar beliau meninggal pada tanggal 21 Juni 1970, cepat saya menjenguknya di rumah sakit. Setelah itu barulah aku berpikir mengenai pemakamannya”. Dan hari itu, menjadi pertemuan terakhir setelah Soeharto menjatuhkan Bung Karno, dan tidak menemuinya lagi sejak 1967.

Sebelumnya, Soeharto hanya menyadap berita kematian Sukarno dari para petugas. Dalam beberapa kesempatan, sikap Soeharto terhadap Sukarno dikatakannya sebagai “mikul dhuwur, mendem jero”. Falsafah Jawa itu sejatinya mulia, karena mengandung makna menghormati setinggi-tingginya, dan menyimpan atau mengubur aib sedalam-dalamnya. Falsafah itu oleh Soeharto diartikan dengan mengasingkan Sukarno, dan “membunuhnya” pelan-pelan dalam kerangkengan kejam di Wisma Yaso hingga menjelang ajal.

Tanggal 22 Juni, atau sehari setelah kematiannya, jenazah Sukarno dibawa ke Blitar, Jawa Timur lewat Malang. Sholat jenazah sudah dilakukan malamnya, dengan imam Menteri Agama KH Achmad Dahlan, sedang sholat jenazah oleh rakyat, diimami Buya Hamka.

Masih menurut buku TRAGEDI SUKARNO tulisan Reni Nuryanti, ada catatan menarik lain tentang makam Sukarno, yang ternyata hanya dimakamkan di bekas Taman Makam Pahlawan Bahagia Sentul. Nah, ihwal dimakamkannya jenazah Sukarno di Blitar, Soeharto berdalih, adanya dua kehendak, antara permintaan almarhum Bung Karno agar dimakamkan di Bogor, dan keinginan keluarga yang berbeda-beda. Karena itulah akhirnya diputuskan dimakamkan di Blitar.

Banyak pihak menduga, keputusan Soeharto itu sarat politik. Ia tidak menghiraukan testamen atau permintaan ahli kubur bernama Ir. Sukarno, Presiden RI pertama yang menghendaki jika meninggal, minta dimakamkan di Bogor. Para pihak menduga, ada kepentingan jangka panjang dari Soeharto untuk “mengubur lebih dalam” Sukarno beserta nama besar dan kecintaan rakyat kepadanya. Inilah yang di kemudian hari disebut sebagai “desukarnoisasi”, upaya menghapus nama Sukarno dari memori rakyat Indonesia.

Sebaliknya, jika jazad Bung Karno dimakamkan di Bogor, sama saja menghambat langkah Soeharto untuk menenggelamkan nama besar Sukarno. Jarak Bogor – Jakarta terlalu dekat, sehingga kenangan rakyat tetap melekat. Ini yang secara politis akan mengganggu kewibawaannya. Langkah dan kebijakan untuk melarang semua ajaran Sukarno, langkah menjebloskan 0rang-orang dekat Sukarno ke dalam tahanan tanpa pengadilan, adalah bentuk lain dari upaya Soeharto benar-benar menghabisi Sukarno.

Satu hal yang Soeharto lupa, bahwa kebenaran senantiasa akan mengalir menemukan jalannya sendiri. Sekalipun kebenaran itu sudah dibelokkan. Sekalipun kebenaran itu sudah disumbat. Sekalipun kebenaran itu sudah dikubur dalam-dalam. Dan… kebenaran niscaya akan mengalir dalam sungainya sejarah.


Kisah Bung Karno Menaklukkan Empat Noni Belanda

“Bung Karno sang penakluk”. Itulah judul alternatif tulisan ini. Atau… sempat pula kutulis judul yang agak provokatif: “Bule-bule Pacar Bung Karno”. Tapi akhirnya, kuputuskan judul yang sekarang, “Kisah Bung Karno Menaklukkan Empat Noni Belanda”. Sekalipun ini urusan cinta, tapi kata “menaklukkan” terkesan lebih heroik. Kesan yang melekat secara otomatis ketika kita menyebut namanya.

Ini adalah sepenggal pengalaman hidup proklamator kita saat ia duduk di bangku HBS (Hogere Burger School), sebuah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Di HBS Surabaya, ketika itu, dari lebih 100 murid, hanya 20 orang saja yang pribumi.

Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Medan, sedangkan AMS ada di kota Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. Begitu sekelumit tentang HBS.

Nah… sebagai pemuda, Bung Karno dalam penuturannya kepada Cindy Adams, penulis biografinya, menuturkan ihwal semangatnya yang membara untuk bisa menaklukkan noni-noni Belanda, agar bisa menjadi pacarnya. Bukan saja karena rasa penasarannya sebagai laki-laki menaklukkan gadis bangsa penjajah… lebih dari itu, ia punya tujuan lain, yakni agar cepat mahir berbahasa Belanda.

Sebagai pemuda yang mengaku tampan selagi muda, Bung Karno penuh percaya diri “mengejar” gadis-gadis kulit putih. Dengan kepandaian otaknya, dengan penampilannya yang percaya diri, serta dengan tampangnya yang tampan, singkat kata Sukarno muda mulai mendapatkan gadis-gadis putih idamannya. Ia mencatat, gadis bule HBS pertama yang jadi kekasihnya bernama Pauline Gobee, anak salah seorang gurunya di HBS. Pauline dikisahkan sebagai seorang gadis yang cantik, dan Sukarno tergila-gila kepadanya.

Kemudian, cinta Sukarno beralih ke gadis putih lain bernama Laura. Ooo… betapa Sukarno juga memuja Laura. Tapi tak berlangsung lama. Perburuan cinta Sukarno, berhasil menangkap seorang kekasih bule yang nomor tiga. Mungkin Sukarno tidak benar-benar mencintai. Buktinya, ia sendiri lupa akan namanya. Yang ia ingat, gadis itu dari keluarga Raat, seorang Indo yang punya beberapa putri cantik. Yang juga ia ingat, rumah keluarga Raat adalah berlawanan arah dengan rumah yang ditinggali Sukarno. Sekalipun begitu, selama berbulan-bulan pacaran, Bung Karno rela tiap hari jalan berputar arah hanya untuk gadis pujaannya.

Nah, tambatan hati keempat adalah seorang noni Belanda nan cantik. Sukarno ingat betul namanya: Mien Hessels. Seketika, Mien Hessels mampu menutup lembaran-lembaran indah Sukarno muda bersama Pauline, Laura dan juga putri keluarga Raat. Mien Hessels telah menyihir Sukarno menjadi gelap mata. Sukarno memuja Mien Hessels sebagai “kembang tulip berambut kuning berpipi merah mawar”. Kulitnya halus selembut kapas. Rambut blondenya ikal mayang. Pribadinya memesona. Sukarno bahkan merasa rela mati untuk mendapatkan gadis pujaannya. Usia Sukarno 18 tahun, ketika itu.

Dan… Sukarno benar-benar nekad. Suatu hari, ia menetapkan hati melamar Mien Hessels. Mengenakan busana terbaik, bersepatu pula, Sukarno duduk di kamar, melemaskan lidah, menghafal kata, melatih bicara: Melamar Mien Hessels menjadi istrinya!

Sore yang cerah, Sukarno menuju rumah Mien Hessels. Begitu memasuki halaman rumahnya, hatinya menggigil ketakutan. Belum pernah sekali pun Sukarno bertamu ke rumah orang Belanda yang mewah. Halamannya ditumbuhi rerumputan laksana hamparan beludru hijau. Kembang-kembang aneka warna berdiri tegak baris demi baris. Sementara, Sukarno tak punya topi untuk dipegang. Karenanya, ia hanya memegang hati, agar tak gugup nanti.

Di hadapan seorang laki-laki tinggi besar, ayah kekasih hatinya, Bung Karno melepas kata, “Tuan… kalau Tuan tidak keberatan, saya ingin minta anak tuan….” Belum selesai Sukarno muda bicara, ayah Hessels melabraknya, “Kamu?! Inlander kotor seperti kamu? Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku?! Keluar kamu binatang kotor. Keluar!!!”

Persis adegan sinetron konyol… Sukarno angkat kaki dengan perasaan seperti dicambuk, muka dicoreng, hati terhina. Peristiwa itu, melekat sepanjang hayat.

Tuhan sungguh mencintai Sukarno. Waktu trus berlalu… 23 tahun sejak peristiwa menyedihkan itu terjadi, tepatnya tahun 1942. Perang Dunia II tengah berkecamuk. Sukarno sendiri sudah menjelma menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan bagi bangsanya. Suatu sore, ketika sedang berjalan-jalan di suatu jalanan di Jakarta, ia mendengar seorang wanita menyebut namanya, “Sukarno?” Berpalinglah Sukarno ke arah pemanggil seraya menjawab, “Ya, saya Sukarno.”

Wanita itu tertawa terkikik-kikik, “Dapat kau menerka siapa saya?” Sukarno memandangi wanita berbadan besar, jelek, tak terpelihara. “Tidak, Nyonya… saya tidak dapat menerka, siapakah Nyonya?” Wanita itu kembali tertawa terkikik-kikik sebelum menjawab, “Mien Hessels!” dia terkikik lagi.

Hati Sukarno menyeru, “Huhhh!!! Mien Hessels! Putriku yang cantik seperti bidadari, kini sudah berubah menjadi perempuan mirip tukang sihir, buruk dan kotor….” Sadar ia melamun, buru-buru Sukarno memberi salam kepada mantan kekasihnya di Surabaya dulu. Setelah itu, ia berpamit untuk berlalu.

Sejurus kemudian, ketika mengenang pertemuannya dengan Mien Hessels, Bung Karno mendesiskan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Hati kecilnya berucap, “Caci maki yang telah dilontarkan ayahnya dulu, sesungguhnya suatu rahmat yang tersembunyi

Senin, 18 Januari 2010

FOTO SEMANGAT PEJUANG KU MEMPERJUANGKAN NEGARA






Foto Sejarah Perjuangan Indonesia


Bung Karno Bersama Tokoh Pejuang Bangsa Indonesia



Bung Karno Tokoh Intelektual Indonesia

Tempoe Doloe Pejuang Indonesia


Bung Hatta Di pengasingan


Para Pejuang Indonesia Sedang Berdiskusi



Para pejuang Indonesia Menyusun Strategi

Mata Uang BUNG KARNO


Beberapa Uang Antik Indonesia lainya Yang Bergambar Bung karno



Mata uang Kertas Indonesia Keluaran 1954




Mata Uang Indonesia keluaran tahun 1964 Bergambar Bung Karno



Sabtu, 16 Januari 2010

PANTAI INDAH DI KOTA BLITAR

JOLOSUTRO BEACH

PANGI BEACH

PANTAI TAMBAK...

Jumat, 15 Januari 2010

tempat wisata kotaku...